Materi 2/3
Sejarah Ekonomi Indonesia
2/3.3 Sistem Tanam Paksa
Graaf Johannes van den Bosch,
pelopor Cultuurstelsel (gambar disamping).
Cultuurstelsel (harafiah: Sistem
Kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Sistem Budi
Daya) yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa,
adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap
desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor,
khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini
akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan
hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak
memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik
pemerintah yang menjadi semacam pajak. Pada praktiknya peraturan itu dapat
dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman
laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel
pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib
bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling
eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan
kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran
pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada
zaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman
tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada
pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal
pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat sistem yang memakmurkan
dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas
dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839. Cultuurstelsel
kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi
dalam sejarah penjajahan Indonesia.
a)
Sejarah
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah
penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Judo
mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan
tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit
anggaran pemerintah penjajahan. Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa
desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya
diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van
den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam
komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk
menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan
menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang
pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih
banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima
kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari
sumber-sumber lain. Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak
tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah
sepenuhnya berjalan di Jawa. Pemerintah kolonial
memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis.
Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang
membubung, dibudidayakan. Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini
berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa
membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di
Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan
berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau
Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal.
Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan
Belanda pun mengalami surplus. Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche
Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut. Akibat tanam
paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada
tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850. Sistem tanam paksa yang
kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda,
akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman
kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan
untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
b)
Berikut
adalah isi dari aturan tanam paksa
- Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
- Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
- Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
- Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
- Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
- Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
- Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar