Materi 13
Perdagangan
Luar Negeri
13.3 Tingkat Daya Saing
I. Daya Saing Indonesia
Kekuatan
daya saing merupakan tatanan yang harus dibenahi dengan baik oleh bangsa
Indonesia, untuk menciptakan indonesia yang adil makmur dan beradap di mata
internasional. Dengan kokohnya perekonomian dan pembangunan Indonesia akan
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang lebih baik.
Tabel B.
1Rangking Daya Saing Indonesia Dalam Negeri
Negara
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
USA
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
1
|
Singapura
|
2
|
3
|
8
|
4
|
2
|
3
|
3
|
Malaysia
|
26
|
28
|
24
|
21
|
16
|
28
|
23
|
Korea
|
29
|
29
|
29
|
37
|
35
|
29
|
38
|
Jepang
|
21
|
23
|
27
|
25
|
23
|
21
|
17
|
Cina
|
24
|
26
|
28
|
29
|
24
|
31
|
19
|
Thailand
|
31
|
34
|
31
|
30
|
29
|
27
|
32
|
Indonesia
|
43
|
46
|
47
|
57
|
58
|
59
|
60
|
Sumber:
IMD World Competitiveness Yearbook (WCY)
Dari table B.1
hingga tabel B.3 tersebut menunjukkan bahwa sikap dan aplikasi
pemebangunan dan perekonomian Indonesia masih di anggap lemah dalam tatanan
global, yang yang seharusnya proses tersebut terus meningkat namun kenyataannya
hanya naik-turun, factor inin disebabkan oleh berbagai sektor, antaranya:
1.
Nilai Inti Pembangunan
Permasalahan
utama dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah kualitas SDM. Rendahnya
kualitas SDM menyebabkan rendahnya daya saing global bangsa Indonesia. Daya
saing bangsa yang kuat menurut pendapat dari Todaro (1998), apabila
nilai inti pembangunan Indonesia dapat dipenuhi: sustenance (kemampuan
untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar), freedom (kemerdekaan,
kebebasan dari sikap menghambat), self esteem (jati diri) dan
tersedianya banyak pilihan. Rendahnya Kulaitas SDM ini pada dasarnya sangat
mengakar pada keterpukan nilai-nilai pendidikan yang berkulitas. Lemahnya
tatanan pendidikan tersebut menyebabkan bangsa Indonesia terus terpuruk dalam
kemiskinan dan tertinggal dalam pembangunan seperti yang diharapkan.
2.
Kolonialisme dan Inferiorisme
Rendahnya
kualitas SDM akibat pembodohan terstruktur sejak berabad-abad lamanya. Tahun
2006 Human Development Index (HDI) Indonesia hanya menduduki rangking 69 dari
104 negara. Penjajahan selama lebih dari 3,5 abad menjadikan bangsa Indonesia
inferior dan selalu pasrah pada keadaan, rendah diri dan tidak kreatif.
Kalaupun mau berusaha, cukup puas hanya pada tataran pencapaian rata-rata (mediocore
achievement). Perkembangan kualitas SDM Indonesia tidak terlepas dari
sejarah intervensi pemerintah dalam dunia pendidikan. Pada masa
kolonialisme, penduduk sengaja dibuat bodoh dengan hanya mengizinkan anak
orang-orang yang pro-pemerintah colonial yang dapat bersekolah. Hasilnya
mayoritas penduduk Indonesia buta huruf (il-literate) dan bermental rendah (inferior).
Pada masa orde lama hingga orde baru pendidikan tidak pernah mendapatkan
prioritas dalam program pembangunan nasional.
3.
Sumber Daya Alam
Perekonomian
Indonesia tidak bisa menggantungkan daya saingnya dari keunggulan komparatif
apalagi hanya dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan.
Saat ini stok sumber daya alam tidak terbarukan seperti minyak bumi, gas,
maupun batubara Indonesia telah menipis. Demikian juga sumber daya alam yang
dapat diperbarui juga telah banyak rusak dan membutuhkan waktu yang amat lama
untuk dapat dikembalikan kepada keadaan semula. Rusak dan gundulnya hutan telah
menjadi isu yang cukup memprihatinkan. Bahkan kerusakan alam yang demikian
parahnya justru menyebabkan bencana lain muncul, seperti tanah longsor dan banjir,
yang menambah terpuruknya daya saing perekonomian Indonesia.
4.
Teknologi
Indeks
teknologi ini diukur antara lain dari posisi negara bersangkutan dalam
penguasaan teknologi dibandingkan negara-negara maju, inovasi bisnis,
pengeluaran untuk riset dan pengembangan (R&D), serta kolaborasi dengan
perguruan tinggi setempat dalam R&D. Sementara, indeks transfer teknologi
diukur dari tingkat alih teknologi oleh investor asing, baik melalui penanaman
modal langsung maupun pemberian lisensi untuk teknologi asing. Dalam hal
penguasaan teknologi Indonesia juga masih kalah dibandingkan dengan Negara
tetangga, meskipun Indonesia memiliki cadangan sumber daya alam yang cukup
untuk membuat industry teknologi sendiri. Hal ini disebabkan karena kualitas
SDM Indonesia yang kurang diberdayakan untuk memajukan sector teknologi.
5.
Iklim Usaha
Variabel
situasi makroekonomi meliputi sejumlah komponen, yakni stabilitas makroekonomi,
peringkat utang negara dan belanja pemerintah. Untuk stabilitas makroekonomi,
Indonesia peringkat ke-45. Sementara, untuk peringkat utang, Indonesia urutan
ke-74, dan belanja pemerintah urutan ke-19. Sementara, MCI yang dikembangkan
Michael E Porter mengukur daya saing fundamental secara komparatif, dengan
menggunakan indikator-indikator mikroekonomi seperti operasi dan strategi
perusahaan, serta kualitas iklim usaha di dalam negeri pada negara
bersangkutan. Kualitas iklim usaha di sini meliputi antara lain kualitas
infrastruktur fisik, infrastruktur administratif, sumber daya manusia, infrastruktur
teknologi, pasar modal, kondisi permintaan, ada-tidaknya industri terkait dan
industri pendukung, ada-tidaknya insentif usaha dan persaingan (struktur
pasar). Hingga saat ini iklim usaha di Indonesia belum dapat dikatakan
kondusif. Kurangnya kepercayaan pihak asing menyebabkan larinya para investor
asing ke luar negeri. Buruknya iklim usaha di Indonesia tercermin dari kompleks
dan berbelit-belitnya birokrasi. Sistem perizinan dengan prosedur yang panjang
membuat para investor harus mengeluarkan dana ekstra untuk memangkas birokrasi
dengan cara-cara yang tidak terpuji seperti suap.
Sarana
infrastruktur yang buruk, seperti rusaknya jalan-jalan sangat menghambat
aktivitas perekonomian. Hal ini memberikan gambaran buruk bagi para investor
bahwa pajak yang mereka bayarkan kepada Negara tidak memberikan imbal balik
bagi kelangsungan usaha mereka.
6.
Industri Manufaktur
Industri
manufaktur boleh jadi merupakan sosok yang paling menggambarkan problematika
perekonomian Indonesia dewasa ini. Di era dunia datar (flat world) yang
dipicu oleh globalisasi dan liberalisasi, industri manufaktur berada di lini
terdepan dalam pertarungan menghadapi persaingan mondial. Hal ini disebabkan
industri manufaktur merupakan satu dari tiga sektor tradables. Dua sektor
lainnya ialah pertanian serta pertambangan & galian. Sesuai dengan namanya,
produk-produk yang dihasilkan sektor tradables diperdagangkan secara bebas,
baik di pasar internasional maupun pasar domestik.
Untuk
menembus pasar internasional, produk-produk sektor ini harus berhadapan dengan
produk-produk serupa dari negara-negara lain; sementara itu untuk memperoleh
tempat di pasar domestik, produk-produk ini harus mumpuni menghadang penetrasi
barang-barang sejenis yang diimpor. Di antara sektor tradables sendiri, industri
manufakturlah yang paling keras menghadapi persaingan. Karena karakteristik
alamiahnya, derajat mobilitas produk-produk manufaktur lebih tinggi ketimbang
produk-produk pertanian dan pertambangan. Sekedar perbandingan, sektor-sektor
yang tergolong non-tradables, yang terdiri dari sektor jasa (dalam artian luas,
meliputi juga konstruksi dan utilitas), praktis tak menghadapi persaingan head
to head di pasar domestik. Misalnya: sektor listrik, gas, dan air bersih;
komunikasi, pendidikan, rumah sakit, dan jasa angkutan.
Mengingat
intensitas perdagangannya sangat tinggi, industri manufaktur menghadapi hampir
segala persoalan di hampir semua “medan laga”, baik di lingkungan internal,
industri maupun eksternal. Juga terkena imbas langsung dari persoalan-persoalan
yang dihadapi di lingkup pasar domestik mapun pasar internasional. Tingkat
efisiensi dan produktivitas yang tinggi di tingkat perusahaan semata tak bisa
menjamin keberhasilan seandainya faktor-faktor eksogen tak mendukung, misalnya:
kualitas infrastruktur yang buruk, korupsi dan pungutan liar, birokrasi yang
bobrok, kerangka institusi yang lemah, kualitas sumber daya manusia yang
rendah, serta risiko bisnis dan politik yang tinggi.
II. Potret Daya Saing Global
Daya Saing Global menurut Executive
Summary WEF adalah kemampuan nilai tukar mata uang suatu Negara (exchange
rate) mempengaruhi produktivitas nasional. Daya saing diartikan sebagai
akumulasi dari berbagai factor, kebijakan dan kelembagaan yang memepengaruhi
produktivitas suatu Negara sehinggan akan emenetukan tercapainya kesejahteraan
rakyat dalam system perekonomian nasional. Produktivitas adalah penentu utama
tingkat ROI (return on Investment) dan agregasi pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian semakin kompetitif daya saing sebuah system perekonomian maka
pembangunan akan tumbuh lebih cepat dalam waktu menengah dan panjang.
Daya saing juga dapat dilihat dari
kebijakan makroekonomi. Pada era orde baru, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi
(7-9%), namun karena terjadi salah kelola (mismanaging) dan salah arah
kebijakan (misguiding) public finance dengan diberlakukannya DFI (Direct
Foreign Investment) sehingga pada saat krisis akibatnya Negara yang
menanggung Utang pihak swasta. Faktor-faktor lain sebagai penentu daya saing
global diantaranya: kesempatan berusaha, system peradilan yang fair, pajak yang
bermanfaat, birokrasi, inovasi teknologi dan pendidikan, hubungan internasional
dan hak cipta. Terjadinya pergantian pemerintahan, kerusakan Infrastruktur
(akibat banyaknya bencana alam, tsunami, gempa bumi, dan banjir) dan hancurnya
pasar uang menyebabkan daya saing perekonomian Indonesia terpuruk.
Sumber:
-
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2006. Prakarsa
Teknologi Untuk Mewujudkan Kemandirian Bangsa. Komisi Ilmu Rekayasa.
Jakarta.