Minggu, 22 November 2015

Khadijah Binti Khuwailid

       Khadijah hidup dan besar dilingkungan Suku Quraisy dan lahir dari keluarga terhormat pada lima belas tahun sabelum Tahun Gajah, sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin mempersuntingnya. Sebelum menikah dengan Rasulullah, Khadijah pernah dua kali menikah. Suami pertama Khadijah adalah Abu Halah at-Tamimi, yang wafat dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga jaringan perniagaan yang luas dan berkembang. Pernikahan kedua Khadijah adalah dengan Atiq bin Aidz bin Makhzum, yang juga wafat dengan meninggalkan harta dan perniagaan. Dengan demikian, Khadijah menjadi orang terkaya dikalangan Quraisy.
            Sebagaimana sabda Rasululla SAW: “Sebaik-baik wanita surge adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.” Khadijah adalah wanita pertama yang hatinya tersirami keimanan dan dikhususkan Allah untuk memberikan keturunan Rasulullah, menjadi wanita pertama yang menjadi Ummahatul Mukminin, yang merasakan berbagai kesusahan pada awal jihad penyebaran agama Allah kepada seluruh umat manusia.          Sayyidah Khadijah dikenal dengan julukan wanita suci sejak perkawinannya dengan Abu Halah dan Atiq bin Aidz karena keutamaan akhlak dan sifat terpujinya. Karena itu, tidak heran jika kalangan Quraisy memberikan penghargaan dan berupa penghormatan yang tinggi kepadanya.
            Kekayaan yang berlimpahlah yang menjadikan Khadijah tetap berdagang. Akan tetapi, Khadijah merasa tidak mungkin jika semua dilakukan tanpa bantuan orang  lain. Kondisi itulah yang menyebabkan Khadijah mulai mempekerjakan beberapa karyawan untuk dapat menjaga amanah atas harta dan dagangannya. Untuk itu, para karyawan mendapat upah dan keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Khadijah memiliki seorang karyawan yang dapat dipercaya dan dikenal dengan nama Maisarah. Dia dikenal sebagai pemuda yang ikhlas dan berani, sehingga Khadijah pun berani melimpahkan tanggung jawab untuk pengangkatan pegawai baru yang akan mengiring dan menyiapkan kafilah, menentukan harga dan memilih barang dagangan. Sebenernya itu adalah pekerjaan berat, namun pengerjaan terhadap Maisarah tidaklah sia-sia.
            Kaum Quraisy tidak mengenal pemuda manapun yang wara, takwa, dan jujur selain Muhammad bin Abdullah, yang sejak usia lima belas tahun telah diajak oleh Maisarah untuk menyertainya berdagang. Maisarah menceritakan kejadian aneh selama melakukan perjalanan ke Syam dengan Muhammad. Selama perjalanan, dia melihat gulungan awan tebal yang senantiasa mengiringi Muhammad yang seolah-olah melindungi beliau dari sengatan matahari. Dia pun mendengar seorang rahib yang bernama Buhairah, yang mengatakan bahwa Muhammad adalah laki-laki yang akan menjadi nabi yang ditunggu-tunggu oleh orang Arab sebagaimana telah tertulis didalam Taurat dan Injil.
            Cerita-cerita tentang Muhammad itu meresap kedalam jiwa Khadijah, dan pada dasarnya Khadijah pun telah merasakan adanya kejujuran, amanah dan cahaya yang senantiasa menerangi wajah nabi Muhammad. Perasaan Khadijah itu menimbulkan kecenderungan terhadap Muhammad didalam hati dan pikirannya, sehingga dia menemui anak pamannya, Waraqah bin Naufal, yang dikenal dengan pengetahuannya terhadap orang-orang terdahulu. Waraqah mengatakan bahwa akan muncul nabi besar yang dinanti-nanti oleh seluruh umat manusia dan akan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya Allah. Penuturan Waraqah itu menjadikan niat dan kecenderungan Khadijah terhadap Muhammad semakin bertambah, sehingga ia ingin menikah dengan Muhammad. Setelah itu dia mengutus Nafisah, saudara perempuan Ya’la bin Umayyah untuk meneliti lebih jauh tentang Muhammad sehingga akhirnya Muhammad diminta untuk menikahi dirinya.
            Ketika itu Khadijah berusia 40 tahun, namun dia adalah wanita dari golngan keluarga terhormat dan kaya raya, sehingga banyak pemuda Quraisy yang ingin menikahinya. Muhammad pun menyetujui permohonan Khadijah tersebut. Maka dengan salah seorang pamannya, Muhammad pergi menemui Khadijah yang bernama Amru bin As’ad untuk meminang Khadijah.
            Allah menghendaki pernikahan hamba pilihan-Nya itu dengan Khadijah. Ketika itu, usia Muhammad baru menginjak 25 tahun, sementara Khadijah 40 tahun. Walaupun usia mereka terpaut sangat jauh dan harta kekayaan mereka pun tidak sepadan, pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang aneh, karena Allah telah memberikan keberkahan dan kemuliaan kepada mereka.
            Khadijah adalah istri nabi yang pertama dan menjadi istri satu-satunya sebelum ia meninggal. Allah menganugrahi Nabi melalui rahim Khadijah beberapa orang anak ketika dibutuhkan persatuan dan banyaknya keturunan. Dia telah memberikan cinta dan kasih saying kepada Rasulullah pada saat-saat yang sulit dan tindak kekerasan dan kekejaman datang dari kerabat dekat. Bersama Khadijah, Rasulullah memperoleh perlakuan yang baik serta rumah tangga yang tentram damai, dan penuh cinta kasih, setelah sekian lama beliau merasakan paitnya menjadi anak yatim piatu dan miskin.
            Khadijah melahirkan dua anak laki-laki yaitu Qasim dan Abdullah serta empat orang anak perempuan, yaitu Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fatimah. Seluruh putra dan putrinya lahir sebelum masa kenabian, kecuali Abdullah. Karena itulah Abdullah kemudian dijuluki ath-Thayyib (yang baik)dan ath-Thahir (yang suci). Zainab banyak menyerupai ibunya. Setelah besar, Zainab dinikahkan dengan anak bibinya, Abul Ash ibnu Rabi’. Pernikahan Zainab ini merupakan peristiwa Rasulullah menikahkan putrinya, dan yang terakhir beliau menikahkan Ummu Kultsum dan Ruqayah dengan dua Putra Abu Lahab, yaitu Atabah dan Utaibah. Ketika nabi diutus menjadi Rasul, Fathimah Az-Zahra, putrid bungsu beliau asih kecil.
            Selain mereka ada juga Zaid bin Haritsah yang sering disebut putra Muhammad. Semula, Zaid dibeli oleh Khadijah dari pasar Makkah yang kemudian dijadikan budaknya. Ketika Khadijah menikah dengan Muhammad, Khadijah memberikan Zaid kepada Muhammad sebagai hadiah. Rasulullah sangat mencintai Zaid karena dia memiliki sifat-sifat yang terpuji. Zaid pun sangat mencintai Rasulullah SAW akan tetapi ditempat lain, ayah kandung Zaid selalu mencari anaknya dan dia mendapat kabar bahwa Zaid berada ditempat Muhammad dan Khadijah. Dia memohon kepada Rasulullah agar bisa mendapatkan kembali anaknya dan mau membayar mahal anaknya, Rasul memberi kebebasan penuh kepada Zaid antara tetap tinggal bersamanya atau ikut bersama ayahnya. Zaid tetap memilih hidup bersama Rasulullah, sehingga dari sinilah kita dapat mengetahui sifat mulia Zaid.
            Beliau menyendiri di Gua Hira, menghmbakan diri kepada Allah yang Maha Esa sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim a.s. khadijah sangat ikhlas dengan segala sesuatu yang dilakukan suaminya dan tidak khawatir selama ditinggal oleh suaminya. Bahkan dia menjenguk serta menyiapkan makanan dan minuman selama beliau didalam gua, karena dia yakin bahwa apapun yang dilakukan suaminya merupakan masalah penting yang akan mengubah dunia. Ketika itu nabi Muhammad berusia 40 tahun. Suatu ketika, seperti biasanya beliau menyendiri di Gua Hira, pada waktu itu bulan Ramadhan. Beliau sangat gemetar ketika mendengar suara ghaib Malaikat Jibril memanggil beliau. Malaikat Jibril menyuruh beliau membaca, namun beliau hanya menjawab “Aku tidak dapat membaca” Akhirnya Malaikat Jibril mendekati dan mendekap beliau kedadanya, seraya berkata “Bacalah wahai Muhammad!” ketika itu Muhammad sangat binung dan ketakutan , seraya menjawab “Aku tidak bisa membaca” . mendengar hal itu Malaikat Jibril mempererat dekapannya , dan berkata “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu  yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan tuhanmulah yang Maha Mulia. Dia mengajari manusia dengan prantara pena. Dia mengajarkan segala sesuatu yang belum mereka ketahui.” Rasulullah mengikuti bacaan tersebut . keringat deras mengucur dari tubuhnya sehingga beliau kepayahan dan tidak menemukan jalan menuju rumah. Khadijah melihat beliau dalam keadaan terguncang seperti itu, kemudia memapahnya kerumah, serta berusaha mengilangkan ketakutan dan kekhawatiran yang memenuhi dadanya. “Berilah aku selimut, Khadijah!” beberapa kali beliau meminta istrinya menyelimuti tubuhnya. Khadijah memberikan ketentraman kepada Rasulullah dengan segala kelembutan dan kasih saying sehingga beliau merasa tenteram dan aman. Beliau tidak langsung menceritakan kejadian yang menimpa dirinya kepada Khadijah karena khawatir Khadijah menganggapnya sebagai ilusi atau khayalan beliau belaka.
            Seteah rasa takut beliau hilang, Khadijah berupaya agar Rasul mengutarakan apa yang telah dialaminya, dan akhirnya beliaupun menceritakan peristiwa yang dialaminya . khadijah mendengarkan cerit suaminya dengan penuh minat dan mempercayai semuanya, sehingga Rasulullah merasa bahwa istrinya pun menduga akan terjadinya hal-hal seperti itu.
            Sejak semula Khadijah telah yakin bahwa suaminya akan menerima amanat Allah Yang Maha Besar untuk seluruh alam semesta. Kejadian tersebut merupakan awal kenabian dan tugas Muhammad menyampaikan amanat Allah kepada manusia. Hal itu pun merupakan babak baru dengan kehidupan Khadijah yang dengannya dia haru meyakini ajaran Rasulullah, sehingga Rasulullah mengatakan “Aku mengharapkannya menjadi benteng yang kuat bagi diriku”.
            Disinilah tampak kebesaran pribadi serta kematangan dan kebijaksanaan pemikiran Khadijah. Khadijah telah mencapai derajat yang tinggi dan sempurna, yang belum dicapai oleh wanita manapun. Dia telah berkata kepada Rasulullah, “Demi Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakanmu. Engkau selalu menghubungkan silaturahim, bericara benar, memikul beban orang lain, menolong orang papa, menghormati tamu, dan membantu meringankan derita dan musibah orang lain.”
            Setelah Rasulullah tenteram dan dapat tidur dengan tenang, Khadijah mendatangi anak pamannya, yang tidak terpengaruh tradisi jahiliyah. Khadijah menceritakan kejadian yang dialami oleh suaminya. Mendengar cerita kejadian yang dialami Rasulullah, waraqah berseru, “Maha Mulia..Maha Mulia.. demi yang jiwa waraqah yang ada dalam genggamanNya, kalau kau percaya pada ucapanku, maka apa yang dilihat Muhammad di Gua Hira itu merupakan suratan yang turun kepada Musa dan Isa sebelumnya, dan Muhammad adalah Nabi akhir zaman, dan namanya tertulis dalam Taurat dan Injil.” Mendengar kabar itu, Khadijah segera menemui suaminya dan menyampaikan apa yang dikatakan oleh Waraqah. Khadijah meyakini seruan suaminya dan menganut agama yang dibawanya sebelum diumumkan kepada masyarakat. Itulah langkah awal Khadijah dalam menyertai suaminya berjihad dijalan Allah dan turut menanggung pahit getirnya gangguan dalam menyebarkan agama Allah.
            Beberapa waktu kemudian Jibril kembali mendatangi Muhammad SAW untuk membawa wahyu kedua dari Allah: “Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan dan Tuhanmu aungkanlah dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu member (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk memenuhi perintah Tuhanmu, bersabarlah”(QS. Al-Muddatsir:1-7)
            Ayat diatas merupakan perintah bagi Rasulullah untuk mulai berdakwah pada kalangan kerabat dekat dan ahlulubait beliau. Khadijah adalah orang yang pertama menyatakan beriman pada risalah Rasulullah Muhammad SAW dan menyatakan bersedianya menjadi pembela setia Nabi. Kemudian menyusul Ali bin Abi Thalib, anak paman Rasulullah yang sejak kecil diasuh dalam rumah tangga beliau. Ali bin Abi Thalib adalah orang yang pertama masuk islam dari kalangan anak-anak, kemudian Zaid bin Haritsah, hamba sahaya Rasulullah yang ketika itu dijuluki sebagai Zaid bin Muhammad. Dari kalangan laki-laki dewasa, mulailah Abu Bakar masuk islam, diikuti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, Az-Zubair ibnu Awam, Thalhah bin Ubaidilah, dan sahaba-sahabat lainnya. Mereka masuk menyatakan islam secara sembunyi-sembunyi sehingga harus melaksanakan shalat dipinggiran kota Makkah.
            Setelah berdakwah secara sembunyi-sembunyi, turunlah perintah Allah kepada Rasulullah untu memulai dakwah secara terang-terangan. Karena itu, datanglah beliau ketengah-tengah umat seraya berseru lantang, “Allahu Akbar, Allahu Akbar… Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia tidak melahirkan, juga tidak dilahirkan.” Seruan beliau sangat aneh terdengar ditelinga orang-orang Quraisy. Rasululla Muhammad SAW memanggil manusia untuk beribadah kepada Tuhan yang satu, bukan Laata, Uzza, Hubal, Manat, serta tuhan-tuhan lain yang memenuhi pelataran Ka’bah. Tentu saja mereka menolak, mencaci maki, bahkan tidak segan-segan menyiksa Rasulullah. Setiap jalan yang beliau lalui ditaburi kotoran hewan dan duri.
            Khadijah tampil mendampingi Rasulullah dengan penuh kasih saying, cinta, dan kelembutan. Wajahnya senantiasa membiaskan keceriaan, dan bibirnya meluncur kata-kata jujur. Setiap kegundahan yang Rasulullah lontarkan atas perlakuan orang-orang Quraisy selalu didengarkan oleh Khadijah dengan penuh perhatian untuk kemudian menguatkan hati Nabi. Bersama Rasulullah Khadijah turut menanggung kesulitan dan kepedihan, sehingga tidak jarang dia harus mengendapkan perasaan agar tidak terekspresikan pada muka dan mengganggu perasaan suaminya. Yang keluar adalah tutur kata yang lemah lembut sebagai penyejuk dan penawar hati.
            Orang yang paling keras menyakiti beliau adalah pamannya , Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Lahab, beserta istrinya Ummu Jamil. Mereka memerintah anak-anaknya untuk memutuskan pertunangan dengan kedua putrid Rasulullah, Ruqayah dan Ummu Kultsum. Walaupun begitu, Allah telah menyediakan pengganti yang lebih mulia, yaitu Utsman bin Affan bagi Ruqayah. Allah mengutuk Abu Lahab dalam firmannya di QS. Al-Lahab:1-5.
            Khadijah adalah tempat berlindung bagi Rasulullah SAW, beliau memperoleh keteduhan hati dan keceriaan wajah istrinya yang senantiasa menambah semangat dan kesabaran untuk terus berjuang menyebarluaskan agama Allah keseluruh penjuru. Khadijah pun tidak memperhitungkan harta bendanya yang habis digunakan dalam perjuangan ini. Sementara itu, Abu Thalib paman Rasulullah, menjadi benteng pertahanan beliau dan menjaga beliau dari siksaan orang-orang Quraisy, sebab Abu Thalib adalah figure yang sangat disegani dan diperhitungkan oleh kaum Quraisy.
            Setelah berbagai upaya gagal dilakukan untuk menghentikan dakwah Raulullah WAS, baik itu berupa rayuan, intimidasi, dan penyiksaan, kaum Quraisy memutuskan untuk memboikot dan mengepung kaum muslimin dan menulis deklarasi yang kemudian digantung dipintu Ka’bah agar orang-orang Quraisy memboikot kaum muslimin, termasuk Rasulullah, istrinya, dan juga pamannya. Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah SAW dan istrinya dapat bertahan, walaupun kondisi fisiknya sudah tua dan lemah. Ketika itu kehidupan Khadijah sangat jauh dari kehidupan sebelumnya yang bergelimang dengan kekayaan, kemakmuran, dan ketinggian derajat. Khadijah ela didera rasa haus dan lapar dalam mendampingi Rasulullah SAW dan kaum muslimin. Dia sangat yakin bahwa tidak lama lagi pertolongan Allah akan datang. Keluarga mereka yang lain, sekali-kali dan secara sembunyi-sembunyi mengirimkan makanan dan minuman untuk mempertahankan hidup. Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun , tetapi tidak sedikitpun menggoyahkan akidah mereka, bahkan yang mereka rasakan adalah bertambah kokohnya keimanan dalam hati. Dengan demikian, usaha kaum Quraisy telah gagal, sehingga mereka mengakhiri pemboikotan dan membiarkan kaum muslimin kembali ke Mekah. Rasulullah kembali menyeru nama Allah Yang Mulia dan melanjutkan jihad beliau.
            Beberapa hari setelah pemboikotan, Abu Thalib jatuh sakit, dan semua orang meyakini bahwa sakit kali ini merupakan akhir dari hidupnya. Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufjan dan Abu Jahal membujuk Abu Thalib untuk menasehati Muhammad agar menghentikan dakwahnya, dan sebagai gantinya adalah harta dan pangkat. Akan tetapi, Abu Thalib tidak bersedia,dan dia mengetahui bahwa Rasulullah tidak akan bersedia menukar dakwahnya dengan pangkat dan harta sepenuh dunia.
            Abu Thalib meninggal pada tahun itu pula, maka tahun itu disebut sebagai ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah SAW. Sebaliknya, orang-orang Quraisy sangat gembira atas kematian Abu Thalib itu, karena mereka akan lebih leluasa mengintimidasi Rasulullah SAW dan pengikutnya. Pada saat kritis menjelang kematian pamannya, Rasulullah SAW membisikkan sesuatu, secepat ini aku kehilangan engkau?
            Pada tahun yang sama, Sayyidah Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun menderita kelaparan dan kehausan karena pemboikottan itu. Semakin hari, kondisi badannya semakin menurun, sehingga Rasulullah SAW semakin sedih. Bersama Khadijahlah Rasulullah SAW membangun kehidupan rumah tangga yan bahagia. Dalam usia 65 tahun, Khadijah meninggal, menyusul Abu Thalib. Khadijah dikuburkan didataran tinggi Mekah, yang dikenal dengan sebutan Al-Hajun. Rasulullah SAW sendiri yang mengurus jenazah istrinya, dan kalimat terakhir yang beliau ucapkan ketika melepas kepergiannya adalah “sebaik-baik wanita penghuni surge adalah Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid”.
            Khadijah meninggal setelah mendapatkan kemuliaan yang tidak pernah dimiliki oleh wanita lain, dia adalah Ummul Mukminin istri Rasulullah SAW yang pertama yang mempercayai risalah Rasulullah SAW, dan wanita pertama yang melahirkan putra-putri Rasulullah SAW, dia merelakan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan jihad dijalan Allah. Dialah orang pertama yang mendapat kaba

Sumber   : Buku Wanita Dalam Al-qur'an

Tidak ada komentar:

Posting Komentar